Kejurnas Hari ke-2: Drama Kekalahan Catur

Aku sedang duduk di tribun ketika melihat Duta berlari ke arahku dengan berurai air mata. Hari ini adalah hari ke-2 Kejurnas Catur 2018 yang diselenggarakan di Hall Serbaguna, Kompleks Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Banda Aceh.

Ow ow dia kalah, pikirku.

Pandanganku langsung terarah ke bawah, meja tempat Duta sebelumnya bertanding. Aku lihat wasitnya berteriak-teriak ke arah pintu keluar, pasti Duta yang dia panggil.

Aduh apa ini?

“Bu…” kata Duta dengan mata berkaca-kaca.
“Duta, kamu dicari wasit. Sana kembali ke meja!” seruku. Walaupun sebenarnya aku ingin langsung memeluknya, tapi aku menguatkan diri untuk menyuruh Duta kembali menyelesaikan urusannya di meja tanding.

Duta kemudian lari kembali ke meja tanding. Dari tribun aku melihat wasit mengatakan sesuatu ke Duta lalu Duta berlari lagi ke arahku dan langsung sesenggukan di pangkuanku.

Oh no, ada apa ini?

Aku tahu, Duta pasti kalah. Tapi mengapa sampai seperti ini?

Kalah menang dalam pertandingan itu biasa. Kemarin di babak ke-2, Duta juga kalah melawan Adrian dari Sumatera Selatan.

Tapi waktu itu reaksinya biasa-biasa saja. Padahal aku lihat sengit sekali pertandingannya. Duta kalah di langkah ke 82 dengan posisi raja sendirian melawan dua bidak dan berharap remis. Tapi ternyata dia tetap kalah.

Saat itu aku sudah mengantisipasi Duta akan menangis meraung-raung karena terasa sekali ketegangan saat pertandingan. Ternyata begitu kalah Duta biasa-biasa saja. Sedih tentu, tapi tidak menangis. Mungkin Duta sudah cukup merasa habis-habisan, jadi kalau kalah ya tidak apa-apa.

“Sssh Duta, jangan kelamaan nangisnya. Ibu ngerti Duta sedih”
“Ibu nggak ngerti!!” ujar Duta kesal
“Ok, ok, ibu nggak terlalu ngerti sedihnya apa. Tapi ibu bisa merasakan kesedihan Duta.”
“Duta nggak sedih. Duta kesal!”
Aduh salah lagi.

Terus terang ini adalah pengalaman pertamaku menemani tanding Duta yang penuh perasaan seperti ini. Biasanya mas Aar yang selalu menemani Duta. Aku tidak tahu harus berkata apa untuk menenangkan hatinya. Aku tawari minum, Duta menolak. Aku ajak tarik napas, Duta semakin marah. Akhirnya aku hanya memeluknya

Aku tak tahu apa yang terjadi di babak 3 ini, mengapa Duta sampai meraung-raung dan menghentakkan kakinya berkali-kali.

Antara sedih dan bingung aku memeluknya berusaha menenangkan tangisannya yang tak kunjung reda.

“Duta mau kembali ke Asrama?”
“Iya….”
“Ok ibu pesan Gocar kalau Duta sudah berhenti nangis.”

Teb… nangisnya langsung berhenti. Dengan nafas tersengal Duta memandangku dan bertanya “Duta boleh nonton?”
“Boleh, 15 menit ya”
“Yaa.. satu jam,” Duta mencoba melakukan negosiasi.
“Ya sudah 30 menit,” aku memberikan sebagian kelapangan buatnya.
“Oke”

Dan tawa pun mengembang di wajah Duta.

***

Merefleksikan Kekalahan

Kami kemudian kembali berpelukan sampai nafas Duta lebih tenang. Pada sat bersamaan, ada orangtua yang melihat peristiwa kami dan berkomentar “Itu pasti partainya menang, tapi dia kalah.”

“Iyaaaaa,” jerit Duta tiba-tiba. Nafasnya yang sudah mulai tenang terguncang lagi. “Harusnya aku menang. Menang banget. Tapi aku salah langkah.”

Terus Duta menangis sesenggukkan lagi. Yaaah…

Dari mendengar cerita para orangtua, aku baru tahu bahwa kalah tanding ketika kita dalam posisi lebih baik itu sakitnya sakiiiit banget. Kita seharusnya menang, tapi melakukan blunder salah langkah sehingga berbalik menjadi kekalahan.

Pak Syaiful Hidayat (pelatih catur dari KONI Jakarta) bahkan berkomentar bahwa anak menangis karena salah langkah padahal partainya menang itu tanda baik. Yang bahaya justru kalau anak diam saja tidak merasa bersalah ketika dia kalah padahal seharusnya dia menang

“Bagus itu bu kalau dia sampai nangis. Makin kenceng nangisnya, makin bener, makin berasa bersalah makin baik perkembangannya,” kata pak Syaiful. “Saya saja waktu itu pernah mengalami kekalahan seperti Duta tad itu pulangnya nggak pulang ke rumah. Padahal saya sudah dewasa. Saya nongkrong dulu di Kampung Melayu cari lawan sampai jam 4 pagi, biar puas, sampai marahnya hilang. Orangtua saya aja yang khawatir, hahaha”

“Makanya, bu..” kata pak Syaiful lagi “Saya selalu bilang sama Duta. Begitu partaimu menang. Pelankan mainnya. Jangan karena merasa akan menang lalu buru-buru. Kalau tiba-tba lawan bergerak ke arah yang tidak kamu perkirakan, kondisi bisa berbalik. Kalah kamu! Jadi biar saja bu, biar Duta belajar dari kekalahannya”

Hmm.. begitu yaa… semoga Duta bisa belajar dari kesalahannya di babak ke-3 ini.

***

Cerita Laundry dan Makanan

Singkat cerita, kami kembali ke asrama usai kekalahan di babak ke-3. Di Asrama, Duta aku berikan waktu main game setengah jam dan nonton setengah jam di iPad.

Sementara itu, aku keluar sebentar untuk mencari tempat laundry. Ternyata dari dua laundry yg aku datangi, keduanya tidak menerima cucian baju dalam. Waah alamat mencuci sendiri. Biaya laundry cukup normal, antara 6000-7000/kg untuk reguler (3 hari) dan 10.000/kg untuk ekspress (1 hari).

Makan siang hari kedua ini lumayan ramah untuk Duta. Ibu penyedia katering bahkan memberikan ikan yang belum diberi cabai supaya anak-anak tidak kepedesan.

Duta juga bisa menikmatimakan siang. Walau wajahnya masih sedih, Duta makan cukup banyak. Aku sendiri menikmati sayur Pliu, sayur khas Aceh yang dibuat dari kelapa Pliu kering dengan aneka sayur campur di dalamnya seperti kacang panjang, melinjo, pepaya muda, dll. Bentuknya mirip sayur lodeh kalau di Jawa, tapi rasanya beda, lebih gurih dan sayurnya lebih empuk lagi.

Membahas tentangl makanan, salah satu kekhawatiran aku dan mas Aar dalam perjalanan ini adalah seberapa mudah Duta beradaptasi dengan makanan baru di Aceh. Duta tidak suka pedas sama sekali. Walau sudah berulang kali kami latih dia untuk bisa makan pedas, tetap Duta menolak.

Seperti ceritaku tentang nasi goreng pedas yang menjadi menu sarapan hari pertama di posting sebelumnya, makan siang di hari itu juga warna lauknya merah semua pertanda pedas dan tidak bisa dimakan Duta.

Untungnya di dekat stadion ada KFC. Aku, Duta, Steven Tan beserta papa Steven akhirnya naik Gocar berburu ayam racikan Kolonel Sanders itu. Sesuai perkiraanku, Duta makan banyak sekali, seperti membayar rasa laparnya kemarin malam dan tadi pagi.

Kemarin malam, aku memutuskan untuk mentraktir Duta makan burger untuk meningkatkan semangat tandingnya. Kebetulan aku menemukan di Google sebuah tempat makan yang kelihatannya cukup menarik dengan rating baik yang berjarak hanya 1,4 km dari asrama haji tempat kami menginap.

Nama restorannya Bite & Co. Ternyata benar, Bite & Co tempatnya hangat dan Instagrammable walau letaknya di pinggir jalan. Burgernya juga terlihat enak.

Duta memesan Barbeque Beef Cheese, sedangkan aku memesan burger original. Setelah makanan tersaji, aku lihat burger milik Duta lebih juicy daripada punyaku, mungkin efek dari saus barbequenya. Lain kali kalau ke tempat itu lagi, rasanya aku ingin mencoba Ultimate Barbeque yang katanya terdiri dari dua lapis daging sapi tebal dengan saus barbeque yang nikmat.

Hmm, memikirkannya saja sudah membuatku lapar.

***

Lompatan Keberanian Membangun Percakapan

Yang mengejutkan buatku saat makan bersama Duta di Bite & Co adalah inisiatif Duta. Tiba-tiba dia mendekat ke arah tempat menyiapkan makanan dan mengobrol bersama pelayannya. Ini sebuah hal yang BARU pertama kali dilakukan Duta. Dia hampir tidak pernah pergi ke “dapur” sebuah tempat makan, apalagi mengajak ngobrol pelayannya.

“Namanya siapa, Dik”
“Duta.”
“Kelas berapa?”
“Kelas empat”
“Sekolah di mana?”
“Homeschooling.”
“Emang ada homeschooling di Banda Aceh?”

Jiaaaah… sepenggal percakapan ini membuat emak gatel pengen ikutan ngobrol. Tapi kubiarkan saja Duta menjelaskan sendiri tentang homeschooling walau agak berbelit (dan aku nggak yakin juga mas-masnya ngerti penjelasan Duta, hehehe.. biarin deh ah). Karena buatku proses ini penting buatnya.

Kejurnas Catur yang sedang diikuti Duta saat ini, apapun hasilnya adalah kemenangan buat Duta. Menang atau kalah adalah lompatan proses perkembangan Duta.

Dengan pengalaman terbang ke Banda Aceh dan mengikuti Kejurnas Catur, Duta menjadi lebih berani dan lebih baik kemampuan komunikasinya. Walau senyumnya masih malu-malu dan sering melirik padaku saat menjawab pertanyaan dari orang, tapi kalimatnya mulai panjang dan lebih bisa dimengerti oleh lawan bicaranya.

***

Pernak-pernik Hari Kedua

Hari kedua ini proses persiapan dan pertandingan berjalan lancar dan tepat waktu. Bis penjemput datang tepat waktu. Pukul 7 pagi kami sudah berangkat ke stadion. Pertandingan juga dimulai tepat jam 8 seperti direncanakan.

Pagi ini, aku menyempatkan membeli kopi Arabica Gayo yang dijual di depan tempat pertandingan. Walau dalam tenda sederhana, kopinya sudah disajikan dengan mesin dan rasanya tak kalah dengan kopi di cafe mahal. Secangkir cappucino di tenda ini dijual dengan harga Rp 13 ribu.

Aku juga berjumpa dengan mbak April yang menyempatkan untuk hadir ke Stadion pagi ini. Kami pernah bertemu dulu di tahun 2011 saat Klub Oase berkunjung ke Salatiga. Saat itu mbak April sedang magang di Lebah Putih ketika Klub Oase sharing tentang homeschooling di sana.

Saat ini mbak April kembali tinggal di Aceh bersama suaminya dengan anaknya yang berusia 6 tahun. Sayang kami tidak sempat ngobrol banyak karena mbak April datang bertepatan dengan peristiwa Duta yang meraung-raung pagi tadi.

Hari ini pertandingan memasuki babak ke-3 dan ke-4.

Setelah drama kekalahan di babak ke-3, Duta berhasil menenangkan diri dan memetik kemenangan di babak ke-4 dengan mengalahkan Danzel Yap dari Riau.

Betul-betul hari yang seru bersama Duta…

Perjalanan Belajar Catur Duta

KOMENTAR

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CERITA LAIN

Dunia Duta

Website ini adalah dokumentasi perjalanan Satria Duta. Sebagai proses dokumentasi perjalanan homeschooling Duta. Web ini dibuat dan dikelola oleh orangtua Satria. Jika Ingin menghubungi kami silakan melalui media sosial di bawah ini

© Dikelola oleh RumahInspirasi